Headlines News :

Siklus Undang-Undang Mengenai Desa

Written By Muhamad Hardin on Rabu, 16 Januari 2013 | Rabu, Januari 16, 2013


Siklus Undang-Undang Mengenai Desa

Sentralistik
-
Regimentasi
-
Desentralisasi
-
Sentralistik
(UU 5/1974)
(UU 5/1979)
(UU 22/1999)
(UU 32/2004)

Pasang surut perundang-undangan yang mengatur mengenai desa berjalan terus secara dinamis dan setiap undang-undang yang berlaku substansi muatan politisnya berbeda-beda. UU. N0. 5/1974 dan UU No. 5/1979 meneguhkan sentralisasi, otoritarianisme, regimentasi (penyeragaman), birokratisasi, depolitisasi dan korporatisasi. UU No 22/1999 memberi kontribusi yang luar biasa dan pengalaman berharga bagi pengembangan desentralisasi, demokratisasi, keragaman, partisipasi dan pemberdayaan. UU No 32/2004 ternyata tidak melakukan revisi atas UU No. 22/1999 dan UU lain sebelumnya dalam rangka memperkuat demokratisasi dan desentralisasi, justru mengganti secara total UU No. 22/1999.

Proses perumusan naskah UU No. 32/2004 secara nyata jauh dari kontrak sosial dan partisipasi. Konsultasi publik yang dibuka oleh Pansus DPR-RI sangat elitis, oligarkhis dan dengan proses yang sangat terbatas. Namun demikian proses tersebut sudah dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU tersebut sudah dikonsultasikan dengan publik. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR, seperti; LIPI, Koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Akademisi dll terus menerus menyampaikan usulan perbaikan secara langsung maupun melalui media. Pepatah mengatakan "biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu", siapapun orangnya, apapun lembaganya, bagaimana substansinya, dengan cara apapun, secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa dan diujung pekan masa kerja mereka habis.

Ditinjau dari sisi demokratisasi UU No. 22/1999 telah membuka ruang politik dan memotong sentralisme yang terjadi di masyarakat pada 3 (tiga) dekade belakangan ini. Sejak UU No. 22/1999 diberlakukan masyarakat desa mulai kritis, transparan dan ada keberanian untuk menyampaikan aspirasinya. Mbah Tarno (salah seorang sesepuh masyarakat Samin di kabupaten Pati Jateng) mengatakan; "jaman iki jaman tinarbuko", jaman keterbukaan. Oleh karenanya Sedulur Sikep (sebutan untuk orang Samin) mulai berpartisipasi dalam program-program pemerintah seperti: bidang pelestarian lingkungan, pengairan, pertanian dan forum-forum mulai dari skala RT sampai Nasional. Padahal sejak jaman penjajahan Belanda sampai era Orde Baru Sedulur Sikep dikenal oleh umum sangat tertutup, militan dan didiskreditkan sebagai komunitas yang sulit menerima perubahan. Di Ranah Minang semangat kembali ke Nagari bergelora dan menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Banyak sekali contoh kebangkitan komunitas yang disemangati oleh UU No. 22/1999. Memang terjadi juga hubungan konfliktual antara Kepala Desa dengan BPD, tetapi hanya sementara selama dua tahun pertama dan hal itu disebabkan oleh pemahaman masing-masing yang masih sangat terbatas. Tetapi mulai tahun ketiga dan berikutnya Kepala Desa dan BPD mulai membangun kemitraan dan hubungan saling percaya.

Semangat UU No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol dan mereduksi demokratisasi pemerintah desa. Semangat sentralistik-korporatis ini mengingatkan kita pada situasi desa berdasarkan UU No. 5/1979. Para penyusun UU No. 32/2004 tampaknya tidak begitu serius memperhatikan desa atau memandang desa dengan sebelah mata. Pola pengaturan yang diskriminatif seperti ini membawa konskuensi keberadaan desa yang kurang terhormat dan desa sekedar menjadi bagian (subsistem) dari pemerintahan daerah. UU No. 32/2004 memberikan "cek kosong" kepada kabupaten/kota untuk melakukan pengaturan terhadap desa. Eksistensi desa tidak ditempatkan sebagai entitas yang otonom dan harus dihormati melainkan berada di wilayah yurisdiksi atau merupakan substansi pemerintah kabupaten. Pada hal secara historis desa adalah komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri (self-governing community), berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam kontek demikian seharusnya desa diatur dalam ketentuan undang-undang tersendiri sebagai satuan pemerintah otonom yang hidup dan berkembang berdasarkan asal-usulnya jauh sebelum republik ini lahir. Namun untuk mencegah sejarah buruk pengaturan desa melalui undang-undang tersendiri yang akhirnya menimbulkan penyeragaman desa sebagaimana UU No. 5/1979 maka materi muatan undang-undang desa harus bersifat umum yang menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada daerah melalui Perda.

Agenda ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat posisi, eksistensi dan kemandirian desa meliputi, pertama; merevitalisasi kewenangan asal-usul untuk desa adat dan kedua; distribusi kewenangan kepada desa. Revitalisasi kewenangan asal-usul selalu diperjuangkan oleh pemimpin lokal, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara maupun NGOs. Revitalisasi ini mau tidak mau harus menengok kembali sejarah masa lalu. Nostalgia masa lalu memang selalu menimbulkan pertantangan, tetapi jika pertentangan ini tidak diputus maka selalu saja akan menanam konflik berkelanjutan di masa depan. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan terutama tanah yang selama ini paling krusial. Penyatuan antara desa negara dengan desa adat menjadi sangat penting yang kemudian ditetapkan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal. Jika problem ini sudah clear dengan format "desa baru" maka langkah berikutnya adalah membuat perencanaan skenario masa depan yang berorientasi pada pembaharuan desa.

Sedangkan kontribusi kewenangan pada desa tentu mengikuti skema desentralisasi. Semua kewenangan yang sudah diatur dalam PP 76/2001 merupakan penyerahan/pembagian kewenangan dari pemerintah supradesa kepada desa (desentralisasi). Jika mengikuti prinsip desentralisasi maka kewenangan dalam bidang tugas pemerintahan tersebut bisa dibagi secara proporsional antara pusat, propinsi, kabupaten/kota dan desa. Akankah desa yang sudah "tinarbuko" ini kembali ke jaman "kegelapan" dengan diterapkan UU No. 32/2004?

(warno)

Penyusunan Anggaran untuk Desa



Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk pemberdayaan masyarakat itu sendiri, karena partisipasi akan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran warga serta membangun kemandirian masyarakat.

Sementara cita-cita mewujudkan partisipasi masyarakat adalah sebuah proses pembelajaran warga yang menuntut kesadaran sekaligus kesa-baran banyak pihak. Banyak pengalaman menunjukan, tidak gampang menuntut keterlibatan orang banyak, apalagi menyangkut seluruh warga tanpa benar-benar dilandasi oleh kesadaran yang tinggi untuk mewujudkan tujuan bersama.

Dalam konteks diatas sejumlah diskusi yang melibatkan masyarakat desa yang di fasilitasi oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak tahun 2001, mencoba untuk mengembangkan serta menyebarkan wacana perlunya mencari dan menumbuhkan pola pengembangan partisipasi dan demokrasi di tingkat masyarakat desa dengan salah satunya menyusun modul pelatihan APBDes partisipatif yang selanjutnya bekerjasama dengan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dengan harapan akan terwujudnya tata pemerintahan yang baik di tingkat desa.

Hal ini dikarenakan pertama, bahwa masih ada sejumlah kekurangan yang nampak dalam pengelolaan anggaran desa. APBDes belum mencerminkan perencanaan strategis desa. Bahkan ketika desa belum memiliki perencanaan strategis, penyusunan anggaran diibaratkan didasarkan pada adat kebiasaan semata yang tidak sejalan dengan visi, misi dan program desa. Padahal seharusnya APBDes seharusnya mengikuti visi, misi dan program desa yang dirancang secara partisipatif.
Kedua, APBDes belum menjadi indikator kemampuan ekonomi desa dalam berotonomi. Banyak kasus mengungkapkan bahwa sumber-sumber pendapatan ABDes belum digali dengan baik, dan kebiasaan yang dilakukan adalah menggali sumberdana dari kebaikan pemerintah kabupaten dan dari luar. Jika menggantungkan dari dalam, pihak desa mengandalkan pada dana swadaya dan gotong royong yang membawa implikasi pada ketidakadilan sosial dan beban yang besar bagi warga desa yang tidak mampu.
Ketiga, bahwa pemerintah desa masih bersikap romantis dengan paradigma lama di dalam mengelola keuangan desa. Di sini pemerintah desa mengesampingkan suara warga dan bahkan BPD. Seolah-olah mencari dan mengalokasikan anggaran adalah hak dan bakatnya. Akibatnya, ABDes tidak disusun secara partisipatif dan alokasi anggaran juga bias kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat. Akibatnya juga ketika daya partisipasi masyarakatnya rendah, maka penyusunan sampai pelakasanaan APBDes tidak terkontrol dan membuka peluang terjadinya korupsi.

Keempat, APBDes menghadapi persoalan rendahnya sumber-sumber dan besarnya penerimaan sehingga APBDes bukan menjadi alat yang penting untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Sumber pendapatan asli desa dari kekayaan desa sangat kecil dan terutama berasal dari tanah yang dipakai untuk lungguh dan sarana umum seperti kuburan, jalan dan tempat ibadah. Tanah kas desa untuk anggaran operasional desa juga tidak memadai.

Kelima, buruknya APBDes berkaitan dengan kurangnya payung hukum kuat yang mendorong terwudnya tata pemerintahan yang baik. APBDes memperlukan peraturan desa (PERDES) yang mengatur tata laksana penyusunan yang mengindahkan bukan hanya aspek teknokrasi tetapi juga ligitimasi masyarakat, dan kesesuaian dengan visi, misi dan program pemerintah desa jangka pendek dan panjang . Demikian pula diperlukan payung hukum yang pasti dari peraturan daerah yang menjamin adanya perimbangan keuangan yang adil dan mendorong pemerintahan desa dapat menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri. Masalah itu patut dikaji lebih tentang pentingnya payung hukum yang tepat.

Dari beberapa persoalan diatas buku panduan pelatihan APBDes partisipatif ini disusun untuk melatih antara lain anggota BPD, aparat pemerintahan, tokoh masyarakat, pengurus lembaga-lembaga yang ada didesa dengan harapan akan tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan masyarakat dalam pemerintahan desa tentang pentingnya proses partisipatif dan meningkatkan ketrampilan mereka dalam penyusunan APBDes.

Bahwa kebutuhan pelatihan di setiap desa tidaklah sama sehingga memang modul ini tidak diniatkan untuk menyeragamkan pelatihan di setiap desa, sehingga dalam menggunakan modul inipun tidak harus digunakan secara runtut, topik demi topik dari tahap pertama hingga akhir sehingga fasilitator bebas memilih dari topik dan tahap mana akan memulai pelatihan. Selain itu dalam menggunakan modul ini haruslah memperhatikan dinamika kebutuhan masyarakat desa setempat.

Melacak Makna Demokrasi

Written By Muhamad Hardin on Selasa, 15 Januari 2013 | Selasa, Januari 15, 2013


oleh :
Prastowo Justinus





Who control the past control the future,
Who control the present, control the past.
( George Orwell )


DARI pelajaran sejarah kita menjadi maklum, betapa masa lalu selalu menarik dan penting diperebutkan. Sungai waktu menjadi saksi, sejarah adalah kisah tentang pemenang, dan jelaslah bahwa kebenaran sejarah tak ubahnya sebuah rekonstruksi kebenaran oleh penguasa, demi memeroleh pijakan bagi masa kininya. Memungut puing masa lalu kemudian menyusun bangunan kisah yang lain pastilah mengandung bahaya, menjadi subversif, persis karena masa depan begitu sulit digenggam oleh status quo.
Satu kisah malang juga menimpa demokrasi. Mungkin ia kini menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan sebagai mantra sekaligus penanda, bahwa saya adalah bagian dari dunia kebanyakan. Tetapi, olehnya pula, demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal. Demokrasi lalu kawin-mawin dengan beragam ideologi dan pemikiran, dan di negeri ini belumlah sahih ucapan seseorang jika belum menyeru dirinya seorang ‘demokrat,’ atau belum fasih bertutur tentang demokrasi.

Baiklah, mari kita uji ikhwal demokrasi itu sendiri, dengan belajar dari masa lalu. Dengan resiko, kita buru-buru dituduh usang dan kuno, terlalu romantisis, bahkan sentimentil. Namun mari dicoba, barangkali itu juga cermin ketakutan dari hilangnya kuasa atas masa kini, persis ketika kita memeroleh sesuatu yang berbeda dari hasil berguru ke masa lalu.

Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957).  Berguru ke masa lalu tak serta merta mengikat dan menjadi keharusan bila makna hakiki ditemukan di masa kini. Ia menjadi normatif saat apa yang ada sekarang dirasakan tidak memadai. Yang jelas, reduksi demokrasi pada sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos = sendiri), oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga model ini saja kita dapat mulai bertanya, pertama mengapa yang disebut terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.

Jelas bahwa demokrasi tidak tepat untuk disodori pertanyaan berapa banyak yang berkuasa? Istilah Yunani yang merujuk istilah “yang banyak” adalah hoi polloi dan sejauh kita melacak ke literatur klasik, tak ditemukan istilah pollokratia, dan jika pun istilah poliarchia ada, itu tak lebih dari olok-olok kemudian terhadap demokrasi oleh pendukung oligarkhi. Kedua, mengapa yang disebut terakhir memiliki unsur bentukan yang berbeda? Jika monarchia dan oligarchia memiliki sufiks (berakhiran) –arche, demokrasi berakhiran –kratos. Di sini kita dapat mengajukan simpulan sementara bahwa kratos memiliki arti atau makna yang berbeda dengan arche. Untuk membantu kita mendedah beda yang terperam, baiklah kita menengok ke Max Weber.

Perspektif Weberian dapat memandu kita menilik makna kratos ini, ketika Weber membedakan Herrschaft (basis legitimasi ) dan Macht (kekuasaan belaka ) atas dasar legitimasi. Istilah arche dan kratos dapat diteropong dari sudut legitimasi ini. Arche memiliki makna “asal usul”, “imperium atau lembaga kekuasaan yang hegemonik”, atau “magistrasi”. Intinya arche menunjuk pada lembaga kekuasaan (office), baik oleh satu orang (monos) dalam monarchia atau oleh beberapa orang (oligos), dalam oligarkhia. Sebaliknya, kratos tidak pernah terkait dengan office (lembaga), melainkan pada power (kekuasaan).

Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan demikian kratos - dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum. Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dimungkiri, namun prinsip utamanya adalah demos terpilin atas tubuh individual yang secara sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Bahkan mengenai siapa yang memeroleh giliran memimpin, kita bisa lakukan undian atau lotere.

Belajar dari masa lalu, kita bertanya, sejak kapan istilah demokrasi dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan melalui voting”? Tampaknya itu dimulai ketika terbit pamphlet oleh pendukung rejim oligarkhia di abad ke-5, yang mengolok-olok demokrasi sebagai kemerosotan akibat pemerintahan oleh “mereka yang banyak”, yakni si miskin. Kini kita dihadapkan pada dua soal itu, pengagungan voting sebagai satu-satunya mekanisme pengambilan keputusan dan mendaku suara terbanyak sebagai representasi kedaulatan rakyat. Dari tilikan praktik zaman antik, keduanya memang bagian dari sejarah, namun bukanlah contoh baik bagi sebuah virtue (keutamaan). Barangkali terlalu mewah berbicara tentang kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas. Kita hidup dalam mentalitas pasar, di mana aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu yang sadar akan hak dan kapasitasnya.

Membandingkan kekayaan pemikiran dan praktik masa lalu dengan praktik dan pemikiran masa kini, kita pantas malu tatkala di abad ke-5, polemik anti-demokrasi mengemuka dan persis mewartakan apa yang kurang lebih kita saksikan akhir-akhir ini, bahwa hampir semua politisi memahami demokrasi sebagai kekuasaan oleh mayoritas, dan karenanya mereka pun berlomba menjadi pemenang, padahal kesadaran dan keikhlasan menjadi pecundang yang fair juga bagian dari kualitas unggul. Yang di zaman lalu bahkan dihargai dengan cara lotere, kini diutamakan, dan sebaliknya yang di masa lalu dianggap penting yakni kesetaraan, penghargaan akan perbedaan, dan penempatan bonum commune sebagai telos kini sama sekali tak disinggung sebagai keutamaan etis. Menghargai kapabilitas dan kesetaraan individu berarti menyodorkan konsep, program, mengajak diskusi dan berdebat secara sehat, tak sekedar memajang gambar molek, slogan narsis, dan janji utopis.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penentuan anggota legislatif dengan suara terbanyak tampaknya bagian dari kesalahpahaman terhadap konsep inti demokrasi, di mana kedaulatan dikuantifikasi dan demokrasi dipahami sebagai praktik kekuasaan atau penguasaan lembaga kekuasaan. Sebaliknya kecurigaan pada oligarki oleh partai politik juga beralasan ditilik dari elitisme dan jauhnya aktivisme partai politik tentang pendidikan politik dan konsistensi pada fatsoen politik yang baik. Dan akhir-akhir ini diimbuhi taburan hasil jajak pendapat, bahkan iklan yang menamai diri dengan ‘demokrasi’ namun sama sekali tak melakukan pendidikan publik, bahkan sekedar menggiring opini publik secara dangkal.

Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali. Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas. Tanpa pendidikan politik, pada akhirnya pertunjukkan politik negeri ini terasa sedemikian hambar dan menyesatkan. Hanya bertarung melalui citra dan polesan iklan, saling mendaku keberhasilan tapi emoh mengakui kegagalan dengan rendah hati. Di mana-mana hantu bergentayangan siap menyandera daulat rakyat kembali menjadi daulat tuanku. Dan agaknya pepatah kuno tetaplah nyaring bergema ‘tak ada sesuatu yang baru di muka bumi’.***

Justinus Prastowo, Aktif di Komunitas Filsafat AGORA, Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara – Jakarta.

Wisata Mancing (Rawa Bangun) di Alam Belantara Desa Batetangga

Written By Muhamad Hardin on Selasa, 01 Januari 2013 | Selasa, Januari 01, 2013



Lokasi tempat pemancingan ikan ini cukup mudah di temui karena letaknya di pinggir jalan poros menuju ke permandian Biru yang berada Desa Batetangnga kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar.

Sambil memancing ikan dengan suasana pepohonan rimbun. disini pengunjung akan dimanjakan dengan berbagai fasilitas seperti tempat Karoeke, kolan renang, warung makan, perpustakan, ataupun fasilitas penunjang lainnya seperti musallah dan toilet. Wajar kemudian pada akhir pekan tempat ini akan ramai di kunjungi masyarakat  di polewali mandar bahkan banyak juga dari masyarakat di luar polewali mandar.

Di rawa bangun pengunjung dapat memilih jenis ikan yang ingin di pancingnya sesuai selara  dan hasil tangkapan dapat di bawa pulang atau dijadikan sebagai hidangkan di tempat wisata ini. dan kalau soal biaya cukup terjangkau untuk semua jenis lapisan masyarakat. Selain itu, tempat wisata ini (read: rawa bangun) juga sering menjadi pilihan favorit para pelajar, mahasiswa, pejabat instansi pemerintah maupun masyarakat umum untuk di jadikan tempat kegiatan-kegiatan sosial (sosial events) seperi forum-forum rapat, dialog, seminar, sosialisasi atau diskusi.

Menurut  penuturan pemiliknya (bpk Abdul Rajab) bahwa Rawa Bangun sendiri di pilih sebagai nama lokasi wisata ini karena tidak terlepas dari sejarahnya. Dimana dahulunya, sebelum disulap menjadi tempat wasita mincing ikan seperti sekarang ini, hanyalah merupakan daerah rawa.

Penasaran silahkan kunjungi  rawa bangun segera mungkin, rasakan keseruan dan keindahan tempat wisata ini, jangan lupa untuk mengujungi obje-objek wisata lainya yang ada di desa Batetangga Polewali Mandar, Sulewesi Barat. 

Thanks sudah berkunjung disini. semoga informasi ini bermaanfaat, khususnya bagi kamu yang suka berwisata mancing (sambil jalan-jalan ke kampung lahaman saya) he... 3x pokoknya dijamin deh tidak akan menyesal! dan jangan lupa tetap kunjungi blog saya ini  (mengharap.com). 

Good Luck!!! Belajar, dan tetap Belajar

Kampung Halaman

More Posts »
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger