Headlines News :

Barcelona, Seni dan Budaya Perlawanan

Written By Muhamad Hardin on Jumat, 24 Mei 2013 | Jumat, Mei 24, 2013



Ketika kita bicara soal Barcelona, klub asal Catalan Spanyol, maka kita akan disuguhkan 3 (tiga) hal, yaitu sejarah, seni serta kepekaan sosial (social interest). Ketiga hal inilah yang membuat Barcelona begitu berbeda dengan klub besar lainnya. Ditengah gempuran bisnis dan modal yang begitu merajai dunia sepakbola hari ini, Barcelona justru lahir dan besar melalui sisi lain sepakbola yang mampu mengkombinasikan antara seni, perlawanan dan sikap kepekaan sosial yang mungkin bisa menjadi contoh bagi siapa saja.

Sejarah dan Simbol Perlawanan


Mungkin sebagian dari kita, tidak terlalu mengenal Barcelona dari sudut pandang sejarah dan simbol kebangsaan yang melekat di klub ini. Catalan, begitu kira-kira sebutan bagi daerah asal tim Barcelona. Secara administratif, Catalan memang merupakan bagian dari Spanyol. Namun demikian, rakyat Catalan hingga kini belum sepenuh hari merasa menjadi bagian dari Spanyol. Hal tersebut tidak lepas dari rekam jejak masa lalu yang begitu kuat dalam ingatan rakyat Catalan.


Tidak bisa dipungkiri, Barcelona sudah menjadi bagian penting dari simbol gerakan anti Spanyol buat warga Catalan. Semasa kekuasaan Jenderal Franco, begitu dalam luka yang membekas di hati rakyat Catalan. Dia menindas, bahkan membunuh sejumlah tokoh Catalan. Dia juga pernah membunuh pemain Barcelona, bahkan membekukan klub itu. Dia pula yang memaksa Catalan sebagai bagian dari Spanyol dan mencegahnya untuk merdeka[1].


Bahkan Rezim Franco melarang penggunaan bendera Provinsi Catalonia  yang terdiri dari suku bangsa Catalan serta Basque. Penggunaan bahasa daerah Catalan juga tidak boleh digunakan. Sang jenderal rupanya ridak puas hanya dengan itu. Franco bertindak lebih jauh. Dia lewat kekuatan militernya membunuh Josep Sunol, Presiden Barcelona pada tahun 1936. Upaya penghancuran terus dilakukan Franco, bahkan sampai ikut campur tangan di lapangan pertandingan. Ini terjadi pada Juni 1943. Pemain Barcelona di bawah ancaman militer diinstruksikan untuk mengalah dari Real Madrid, yang notabene merupakan klub kesayangan Franco. Gawang Barcelona pun kemasukan 11 gol. Pemain Barcelona geram, tapi serba salah. Sebagai ungkapan protes, Barcelona bermain serius menyarangkan bola di gawang lawan sehingga skor akhir menjadi 11-1. Satu gol ini ternyata membuat Franco kesal dan berbuntut dijatuhkannya tuduhan sang kipper sebagai pengatur pertandingan, sekaligus dilarang bermain sepakbola lagi seumur hidup. Sejak itu Barcelona menjadi semacam klub anti Franco dan menjelma sebagai simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco[2].

Gerakan perlawanan Catalan mungkin tak lagi sehebat dulu, ketika perlawanan rakyat Catalan tersimbolisi dalam organisasi  Euskadi Ta Askatasuna (ETA)[3], yang dinyatakan Pemerintah Spanyol sebagai gerakan separatis dan terorisme. Namun perlawanan terhadap sisa duka peninggalan rezim Franco masih terus membekas dihati rakyat Catalan. Kemerdekaan merupakan harga mati bagi mereka. Merdeka sebagai pengakuan keberadaan Catalan, sekaligus kebebasan sejatinya untuk berpikir tanpa tekanan, tanpa diskriminasi serta merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination).


Melihat dari sejarah ini, maka wajar jika setiap pertandingan Barcelona lawan Real Madrid selalu berlangsung panas dengan dipenuhi unsur politisasi kedua pihak. Kemenangan bukan sekadar nilai tiga, tetapi juga menyangkut harga diri. Bagi rakyat Catalan, kemenangan dan dominasi atas Real Madrid, berarti kemenangan kecil bagi perjuangan mereka yang selama ini mendapatkan tekanan serta perlakuan diskriminatif dari kerajaan Spanyol.

Barca dan Seni Sepakbola


Sepakbola adalah seni. Seni yang mengedepankan totalitas dalam memainkan si kulit bundar yang pada saat bersamaan menguji kemampuan untuk menggalang kerja sama tim. Inilah filosofi sepakbola yang mampu dipraktekkan dengan baik oleh Barcelona, paling tidak selama kurung waktu 5 tahun terakhir. Barcelona mampu memberikan makna tersendiri, bagaimana seharusnya sebuah tim memainkan pertandingan. Tidak hanya mematok hasil akhir pertandingan saja, namun juga menekankan kepada proses bermain.

Barcelona merupakan personifikasi tim sepakbola yang mampu memperagakan Total Footbal dengan baik. Total Football atau dalam bahasa Belanda disebut “totaal voetbal”, adalah taktik permainan yang memungkinkan semua pemain bertukar posisi (rotasi posisi) secara konstan sambil menekan pemain lawan yang menguasai bola. Taktik ini pertama dipopulerkan oleh klub Ajax Amsterdam pada tahun 1969 sampai 1973. Tim Nasional Belanda kemudian mengadopsi gaya ini pada Piala Dunia 1974 dan terus menjadi ciri khas permainan tim Oranje dan Ajax Amsterdam sampai sekarang. Taktik ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Rinus Michels yang juga menjadi pelatih Ajax Amsterdam dan Oranje. Gaya permainan ini kemudian dimodifikasi lagi oleh Johan Cruijff pada saat ia melatih FC Barcelona[4].

Total football ini kemudian makin melekat sebagai gaya permainan menyerang di era pelatih Josep Guardiola. Gaya permainan ini juga sering diistilahkah dengan Tiki-taka, atau dalam bahasa Spanyol, disebut dengan istilah “tiqui-taca[5]. Karaktek utama dalam gaya permainan ini adalah tumpuan kerjasama tim dengan mengandalkan umpan pendek dengan memanfaatkan segala lini serta berupaya sekeras mungkin untuk melakukan penguasaan bola sepanjang pertandingan. Dengan demikian dominasi penguasaan bola, akan lebih memperbesar peluang bagi tim untuk melancarkan serangan ke kubu lawan. Barcelona selama ini, telah mampu melakukan pencapaian yang luar biasa, dengan meyakini seni sepakbola menyerang sebagai pintu kemenangan.

Bisnis vs Kepekaan Sosial


Barcelona memang dikenal memiliki sikap kepekaan sosial (sense of social) yang lebih dibanding klub sepakbola lainnya. Minimal untuk saat ini. Dimana Barcelona, baik secara team dan pemain, mampu memberikan warna tersendiri terhadap sepakbola. Bahwa klub catalan ini memiliki segudang prestasi, siapa yang mampu membantahnya?. Namun sisi lain dari prestasi ini, begitu banyak aktivitas sikap dan prilaku team dan pemain Barcelona yang mencengangkan, terutama di bidang sosial.


Salah satu hal yang menonjol dari barcelona adalah keputusan klub yang bersikukuh untuk tidak melego kostum permainannya demi kepentingan bisnis semata. Ya, kostum Barcelona atau yang kita sering istilahkan dengan “jersey”, hingga saat ini hanya bertuliskan “UNICEF”, tepat di bagian dada. Sebagaimana kita ketahui, Barcelona mencapai ksepakatan dengan pihak United Nations Children’s Fund (UNICEF) untuk memasang logo organisasi PBB yang membidangi masalah kesejahteraan anak dan ibu tersebut di kostum Barcelona sejak tahun 2006 lalu. Padahal sejatinya, sebelum kesepakatan dengan pihak UNICEF ini, Barcelona adalah satu-satunya klub besar dunia yang mengharamkan nama sponsor di kostum.


Berbeda dengan deal sponsorsip pada umumnya, dalam kesepakatan ini justru pihak Barca yang akan membayar UNICEF sebesar 1,5 juta poundsterling atau sekita 17 Milyar Rupiah pertahun, berupa sumbangan terhadap berbagai kegiatan organisasi yang berdiri tahun 1946 itu. Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari janji Barcelona yang menyatakan keinginannya untuk mendonasikan 0,7% dari seriap pendapatan klub pertahunnya kepada PBB. Ini adalah inisiatif yang datang dari hati. Barca bisa membantu anak-anak di seluruh dunia. Ini merupakan momen bersejarah dan itu adalah logo prestisius dan bukan hanya publikasi sebuah merek, demikian kata mantan Presiden Klub Barcelona, Joan Laporta, ketika kesepakatan kerjasama ini tercapai[6]. Menurut UNICEF, dana bantuan Barcelona di tahun pertama akan digunakan untuk membantu program pencegahan menularnya virus HIV terhadap anak-anak di Kerajaan Swaziland, salah satu negara terkecil di benua Afrika yang terletak di Afrika Selatan[7].


Dilevel pemain sendiri, pemain terbaik dunia, Lionel Messi ditunjuk sebagai Duta Besar UNICEF untuk kampanye dan tugas yang menjadi tanggung-jawab UNICEF dibidang sosial khususnya anak-anak. Penunjukan ini sendiri dilakukan karena Messi sendiri sering melakukan kegiatan sosial yang diadakan lembaga-lembaga independen sehubungan dengan berbagai masalah yang sering dihadapi dan di derita oleh anak-anak, terutama anak-anak terlantar ataupun menderita kelainan bawaan sejak lahir[8].


Demikianlah apa yang dipertontonkan oleh Barcelona, bahwa sepakbola tidaklah sekedar olahraga. Namun jauh dari itu, bahwa sepakbola menjadi pintu masuk untuk menguji kepekaan sosial bagi setiap orang. Sepakbola adalah tradisi sejati untuk membangun kebersamaan serta sikap peduli terhadap sesama.

Artikel ini merupakan tulisan Herdianzah Hamzah dan tulisan ini pernah dimuat di Harian Jogja, 10 Desember 2010

[3] Euskadi Ta Askatasuna (disingkat ETA) adalah sebuah organisasi separatis bersenjata Basque, salah satu suku bangsa Catalonia selain catalan. Organisasi bersenjata ini didirikan pada tahun 1959 dan telah berkembang dari kelompok yang mempromosikan budaya Basque tradisional ke sebuah kelompok paramiliter dengan tujuan memperoleh kemerdekaan daerah Basque. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Euskadi_Ta_Askatasuna
[4] Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Total_Football. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
[5] Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Tiki-taka. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
[7] Sumber : http://bola.liputan6.com/laliga/200609/204008/_. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
[8] Sumber : http://www.fcbarcelona.web.id/tag/unicef. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
Sumber Artikel :
http://www.herdi.web.id/barcelona-seni-dan-perlawanan/


Good Luck!!! Belajar dan tetap Belajar

Bagaimana Media ‘Membunuh’ Kepekaan Sosial Kita




Oleh: Sigit Budiarto

TV Lies (Ilustrasi)

Terungkapnya praktek menyerupai ‘perbudakan’ di pabrik kuali di Tangerang, Banten, mengagetkan banyak orang. Bayangkan, di era modern seperti sekarang ini, yang dipuja-puji dengan penghargannya terhadap Hak Azasi Manusia, ternyata masih mentolerir praktik menyerupai perbudakan.

Kejadian yang dianggap menggemparkan lainnya adalah cerita tentang Tasripin, bocah berusia 12 tahun yang tinggal di pelosok Banyumas, Jawa Tengah, yang bekerja sebagai buruh tani demi menghidupi tiga adiknya: Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4). Sampai-sampai, karena dianggap fenomena yang tidak pernah atau jarang terjadi, Presiden SBY ikut terenyuh ketika mendengar kabar itu.

Dalam diri saya muncul pertanyaan: benarkah kejadian di pabrik kuali dan Tasripin adalah fenomena baru atau baru kali ini saja terjadi? Apakah anda yakin bahwa kejadian semacam itu tidak terjadi di sekitar lingkungan atau komunitas anda?

Kalau soal pabrik kuali di Tangerang itu, mungkin itu kejadian langka. Mungkin terjadi juga di tempat lain, tapi belum terungkap. Tetapi, dalam kasus Taspirin, saya anggap kejadian semacam itu terjadi di banyak tempat di negeri ini. Dan memang benar. Tak lama setelah berita Tasripin, muncul lagi berita tentang Indah Sari, siswi SMP yang bekerja di pabrik bulu mata palsu untuk menopang biaya sekolah dan biaya hidup keluarganya.

Kenapa kejadian ini baru kita ketahui setelah diangkat media. Kok bisa-bisanya masyarakat di sekitar mereka, pihak sekolah, dan pejabat pemerintah setempat tidak bisa menangkap kejadian-kejadian seperti Tasripin dan Indah Sari ini.
Begitu juga dengan kejadian di pabrik kuali. Kok bisa masyarakat di sekitarnya tidak tahu atau luput untuk mengetahui praktek perbudakan di pabrik kuali itu. Padahal, pabrik kuali itu ada di sebuah pemukiman, bukan di sebuah tempat yang terisolasi jauh dari jangkaun publik.

Menurut saya, tidak bekerjanya kejelian kita melihat fenomena Tasripin dan Indah Sari adalah buah dari terkikisnya kepekaan sosial kita. Dan sistem kapitalisme punya andil besar dalam mengikis kesadaran dan kepekaan sosial kita. Maklum, di bawah sistim kapitalisme, relasi manusia telah diterjemahkan dalam relasi komoditi.
Media massa kapitalis telah memainkan peranan signifikan dalam mendegradasi kepekaaan sosial masyarakat kita itu. Media massa kapitalis ini, melalui sajian pemberitaan dan promosi gaya hidupnya (film, iklan, sinetron, musik, dan lain-lain, telah mencerabut masyarakat kita dari akar sosialnya dan mengatomisasinya.
Saya berusaha memperlihatkan beberapa contoh bagaimana media massa mendegradasi kepekaan sosial masyarakat kita dan mengatomisasinya menjadi individu-individu yang berbeda kepentingan satu-sama lain.

Pertama, media massa kapitalis selalu berusaha menyajikan berita yang layak dijual. Supaya bisa begitu, maka berita yang diangkat pun haruslah di luar kebiasaan, jarang terjadi, dan unik. Ini terlihat jelas dalam resep jurnalisme mereka: “anjing menggigit manusia bukan berita, tapi manusia menggigit anjing baru berita.”

Njoto, pimpinan redaksi Harian Ra’jat, pernah mengeritik gaya jurnalisme di atas sebagai selera jurnalisme borjuis. Menurutnya, jurnalisme borjuis menganggap penderitaan orang yang digigit anjing tidak punya nilai jual untuk diberitakan. Sebaliknya, manusia menggigit anjing sebagai peristiwa aneh, sensasional, dan menghibur justru punya nilai jual dan itulah yang mestinya diberitakan.

Konsekuensinya: media massa tidak tertarik memberitakan persoalan-persoalan yang dialami oleh rakyat.  Kalaupun diberitakan, itu hanya menempati pojok kecil dan ulasannya sangat singkat. Sebab, penindasan dan penghisapan rakyat itu sendiri dianggap sudah lazim terjadi.

Kedua, media massa lebih tertarik menyajikan berita yang sensasional dan bombastis, seperti skandal seks para pejabat/tokoh publik, gossip miring tentang para politisi, perselingkuhan dan perceraian di kalangn selebritis, dan lain-lain.
Sebagai contoh: media massa lebih tertarik memberitakan perceraian Anang-Krisdayanti ketimbang PHK massal terhadap buruh di sebuah pabrik. Kesannya: perceraian Anang-Krisdayanti lebih penting diketahui publik ketimbang penderitaan kaum buruh. Akibatnya, kita mulai kurang sensitif dengan persolan penghisapan yang dialami oleh masyarakat sekitar kita.

Ketiga, media massa saat ini suka sekali mengalihkan perhatian kita pada persoalan remeh-temeh, tapi justru mengabaikan atau mengaburkan persoalan besar.

Kita juga bisa mengambil kasus suap impor daging sebagai contoh. Media massa lebih tertarik menelusuri hubungan Ahmad Fathanah dengan sejumlah perempuan ketimbang menelesuri hubungan antara praktek suap, mahalnya harga daging, dan kegagalan negara menyediakan daging dengan harga terjangkau bagi rakyatnya.

Keempat, media massa seringkali melaporkan kejadian secara bias atau memanipulasi fakta. Sebagai misal, ketika mengangkat soal konflik agraria, media sering mencap rakyat sebagai penghuni ilegal, perambah, penyerobot, bahkan mafia tanah.

Padahal, dalam banyak kasus konflik agraria, rakyat adalah pemilik sah tanah tersebut. Sedangkan lawannya adalah pengusaha. Lantaran si pengusaha punya kekuatan modal, yang digunakan untuk menyuap pejabat politik, BPN, dan pengadilan, maka dia yang memenangkan klaim kepemilikan.

Pembiasan ini makin sering terjadi lantaran: Satu, kepemilikan media makin terkonsentrasi di tangan segelintir kapitalis. Sehingga posisi media tidak lebih sebagai pembela kepentingan ideologis, politis, dan ekonomis si kapitalis. Dua, dalam menggali informasi, media massa sangat bergantung pada narasumber seperti pejabat pemerintah, pemilik bisnis, dan kelompok pakar.

Akibatnya, ketika rakyat atau kaum tani dirampas tanahnya, kemudian oleh media dicap penyerobot lahan perusahaan, kita kemudian enggan peduli atau bersolidaritas kepada mereka.

Kelima, media massa mempromosikan gaya hidup individualistik, yang cuek dengan keadaan sekitar, sebagai gaya hidup yang unggul dan patut diteladani. Ini dipromosikan lewat iklan, film, sinetron, cerita pendek di koran, dan lain sebagainya.

Bahkan, demi merealiasikan atau memvisualkan keunggulan gaya hidup “keakuan” itu, tak masalah menindas kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Anda bisa melihat contohnya dalam iklan rokok Country yang berjudul Country The Flavor Of Adventure. Di situ diperlihatkan sepasang muda-muda yang kehilangan kendali atas mobilnya, yang kemudian meluluh-lantakkan pemukiman kumuh, dianggap telah menciptakan petualangan yang langka dan spektakuler.

Keenam, perkembangan televisi membawa dampak luar biasa. Banyak yang ditayangkan oleh televisi, seperti sinetron dan reality show, ditanggapi oleh pemirsanya sebagai sesuatu yang seolah-olah nyata atau benar-benar terjadi. Banyak tayangan sinetron, yang dikemas memang untuk menguras air mata, benar-benar membawa pemirsanya dalam kesedihan dan mengeluarkan air mata.

Sinetron dan reality show membawa dampak yang disebut “kekebalan sensivitas”. Maksudnya, masyarakat makin terbiasa dan kebal dengan hal-hal yang seharusnya menyedihkan atau rasa kemanusiaan. Ini sama dengan fenomena pengemis. Karena masyarakat, misalnya di pengguna KRL ekonomi Bogor-Jakarta, sudah terbiasa melihat dan mendengar keluhan pengemis, maka pengemis menggunakan cara yang lebih menyentuh lagi: membawa anak kecil atau memperlihatkn luka diperban. Lama kelamaan ini juga dianggap hal biasa.

Ketujuh, media massa mengkomoditifikasi kebudayaan. Apa yang disebut budaya rakyat, seperti kesenian tradisional, yang biasanya melibatkan banyak orang, telah digantikan dengan budaya populer atau budaya media yang lebih individualistik atau eksklusif.

Dahulu misalnya, anak-anak bermain-main di luar rumah. Sekarang, televisi dan games menarik anak-anak ke dalam rumah. Akibatnya, interaksi sosial mereka paling-paling di sekolah. Itupun waktunya dan kesempatannya terbatas akibat sistem pembelajaran yang bergaya penjara.


Sumber Artikel: 
http://www.berdikarionline.com/opini/20130523/bagaimana-media-membunuh-kepekaan-sosial-kita.html#ixzz2UCymbFEq

Kampung Halaman

More Posts »
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger