Oleh: Maria Ulfa*
Kompetisi global juga sudah melanda dunia pendidikan, dimana setiap tahun penerimaan mahasiswa baru selalu diwarnai dengan berita tentang mahalnya biaya untuk masuk ke perguruan tinggi baik itu perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS).
Seperti layaknya perusahaan, perguruan tinggi negeri maupun swasta memiliki tim marketing untuk mempromosikan kepada calon mahasiswa baru agar dapat bergabung, baik itu melalui iklan di televisi,koran,majalah, brosur ,ataupun turun langsung ke sekolah-sekolah. Peran pihak birokrasi yang ekstra keras saat tahun ajaran baru menjadi fenomena tersendiri dalam dunia pendidikan. Tim yang dibentuk bisanya bergerak 2 bulan sebelum ujian nasional baik itu di tingkat SMA,SMK,ataupun Madrasah. Strategi menjemput bola ini biasanya memiliki target Sekolah-sekolah elit yang mempunyai Siswa-siswi dari ekonomi menengah keatas. Inilah salah satu metode dalam kapitalisasi pendidikan.
Globalisasi yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan pendidikan telah mengubah substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan sudah dianggap sebagai komoditi yang memiliki nilai jual. Peran pihak birokrasi perguruan tinggi dan pemerintah telah menjadi mata rantai dalam proses kapitalisasi pendidikan. Salah satu Penyebabnya sistem yang di buat oleh pihak perguruan tinggi yang menuntut mahasiswa untuk menjalani jadwal kuliah yang begitu padat.
Perguruan tinggi yang menitik beratkan kepada mahasiswa agar mecapai nilai yang sempurna sebagai indikator keberhasilan mahasiswa, membuat mahasiswa layaknya robot, dimana remotnya berada pada pihak birokrasi dan siap di tekan agar mahasiswa tetap tunduk dan patuh, akibatnya mahasiswa tak lagi kritis, cepat bosan, pada akhirnya mahasiswa akan bersifat apatis rerhadap masalah yang di hadapi bangsa sendiri.
Fenomena Globalisasi, sebenarnya sejak awal abad 20 sudah dilihat Lenin, yang mengistilahkanya dengan Imperialisme atau perkembangan tertinggi dari Imperialisme, yakni sebuah ciri dari perkembangan ekonomi Internasional yang ditandai dengan penyatuan kapital Industri dan kapital Bank dalam kapital finans, pembagian wilayah pasar dunia antar kapitalis, monopoli dan penguasaan atas pasar. Senada dengan yang dianalisis Lenin dalam memandang Globalisasi, menurut Stiglitz, globalisasi merupakan hubungan yang tidak setara antara negara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, hubungan antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Disadari maupun tidak, sistem ekonomi kapitalisme sudah berkembang dan merayap pada semua aspek kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, dan inilah menjadi faktor dasar material pembentuk hampir seluruh orientasi kebijakan Negara di bidang sosial, ekonomi, politik, tanpa terkecuali bidang pendidikan
Sebenarnya dalam UUD 1945, pasal 31 ayat 2 menyatakan “setiap waga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Kemudian dipertegas pada ayat ke 4 ”Negara memperiotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Namun, dalam kenyataanya UUD 1945, sangat bertengtangan dengan UU Sisdiknas, dimana di dalam UU sisdiknas pasal 9 berbunyi “masyarakat berkewajiban memberi, dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan,” lalu di kuatkan dengan pasal 12 ayat (b) yang menyatakan “peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan.
Terlebih lagi dengan disahkannya draf rancangan undang-undang perguruan tinggi (RUU PT), yang terdiri dari 12 bab dan 100 pasal dengan pokok pengaturan substansi penting, seperti ketentuan umum, asas, dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan tinggi, dan di dalam draf RUU PT ini juga menyatakan penyelenggaraan pendidikan tinggi, kerjasama internasional, penjaminan mutu, otonomi perguruan tinggi, serta pendanaan dan pembiayaan pendidikan tinggi
Dampak dari disahkannya RUU PT ini, terjadi pasar bebas pendidikan, standar suatu mata kuliah yang akan di ajarkan di dasarkan pada tingkat permintaan dan keinginan pemodal, perguruan tinggi tidak lagi independen dalam artian pendidikan kita akan di arahkan sesuai keinginan pasar, dan kurikulum yang sudah ada akan mudah di ubah menjadi keinginan kapitalis dan dengan sendirinya kaum kapitalis dapat menyisipkan ide-ide tentang system kapitalisme dalam kurikulum, mahasiswa juga akan di arahkan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pemodal asing yang menanamkan modal dalam perguruan tinggi tersebut dan tak lagi memikirkan persoalan bangsa sendiri, akhirnya akan melahirkan lingkaran setan dengan anak bernama ”kemiskinan dan kebodohan”
Kelas borjuasi dengan kepentingan kapitalismenya jelas dan sangat terang-terangan memperlihatkan kepada dunia pendidikan bahwa pendidikan hanya dijadikan alat untuk tetap meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan perguruan tinggi pun sebagai perpanjang tangan dari pihak borjuasi akan melakukan berbagai macam cara untuk membela kepentingan borjuasi, jadi janganlah heran ketika perguruan tinggi menanamkan sejak dini budaya diam dan patuh, kerena ketika seluruh generasi muda sudah dapat di tundukkan maka mereka tak berani lagi mempertanyakan tentang kemerdekaannya yang menjadi hak dasar setiap manusia
Melihat masalah pendidikan, akar masalah dari semua ini adalah berlepas dirinya pemerintah dari tanggung jawab dalam masalah pendidikan. Pemerintah tampaknya sudah tidak mau lagi direpotkan dengan masalah biaya pendidikan. Di samping itu, apabila kita runut akan menemukan bahwa kapitalisasi pendidikan tinggi merupakan salah satu agenda kapitalisme global untuk memprivatisasi semua sektor publik
Note :
*penulis merupakan mahasiswa dengan jurusan Akuntansi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Angkatan dan aktif sebagai anggota di lembaga Jurnalist kampus
Tidak ada komentar: