Headlines News :

Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Bagaimana Media ‘Membunuh’ Kepekaan Sosial Kita

Written By Muhamad Hardin on Jumat, 24 Mei 2013 | Jumat, Mei 24, 2013




Oleh: Sigit Budiarto

TV Lies (Ilustrasi)

Terungkapnya praktek menyerupai ‘perbudakan’ di pabrik kuali di Tangerang, Banten, mengagetkan banyak orang. Bayangkan, di era modern seperti sekarang ini, yang dipuja-puji dengan penghargannya terhadap Hak Azasi Manusia, ternyata masih mentolerir praktik menyerupai perbudakan.

Kejadian yang dianggap menggemparkan lainnya adalah cerita tentang Tasripin, bocah berusia 12 tahun yang tinggal di pelosok Banyumas, Jawa Tengah, yang bekerja sebagai buruh tani demi menghidupi tiga adiknya: Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4). Sampai-sampai, karena dianggap fenomena yang tidak pernah atau jarang terjadi, Presiden SBY ikut terenyuh ketika mendengar kabar itu.

Dalam diri saya muncul pertanyaan: benarkah kejadian di pabrik kuali dan Tasripin adalah fenomena baru atau baru kali ini saja terjadi? Apakah anda yakin bahwa kejadian semacam itu tidak terjadi di sekitar lingkungan atau komunitas anda?

Kalau soal pabrik kuali di Tangerang itu, mungkin itu kejadian langka. Mungkin terjadi juga di tempat lain, tapi belum terungkap. Tetapi, dalam kasus Taspirin, saya anggap kejadian semacam itu terjadi di banyak tempat di negeri ini. Dan memang benar. Tak lama setelah berita Tasripin, muncul lagi berita tentang Indah Sari, siswi SMP yang bekerja di pabrik bulu mata palsu untuk menopang biaya sekolah dan biaya hidup keluarganya.

Kenapa kejadian ini baru kita ketahui setelah diangkat media. Kok bisa-bisanya masyarakat di sekitar mereka, pihak sekolah, dan pejabat pemerintah setempat tidak bisa menangkap kejadian-kejadian seperti Tasripin dan Indah Sari ini.
Begitu juga dengan kejadian di pabrik kuali. Kok bisa masyarakat di sekitarnya tidak tahu atau luput untuk mengetahui praktek perbudakan di pabrik kuali itu. Padahal, pabrik kuali itu ada di sebuah pemukiman, bukan di sebuah tempat yang terisolasi jauh dari jangkaun publik.

Menurut saya, tidak bekerjanya kejelian kita melihat fenomena Tasripin dan Indah Sari adalah buah dari terkikisnya kepekaan sosial kita. Dan sistem kapitalisme punya andil besar dalam mengikis kesadaran dan kepekaan sosial kita. Maklum, di bawah sistim kapitalisme, relasi manusia telah diterjemahkan dalam relasi komoditi.
Media massa kapitalis telah memainkan peranan signifikan dalam mendegradasi kepekaaan sosial masyarakat kita itu. Media massa kapitalis ini, melalui sajian pemberitaan dan promosi gaya hidupnya (film, iklan, sinetron, musik, dan lain-lain, telah mencerabut masyarakat kita dari akar sosialnya dan mengatomisasinya.
Saya berusaha memperlihatkan beberapa contoh bagaimana media massa mendegradasi kepekaan sosial masyarakat kita dan mengatomisasinya menjadi individu-individu yang berbeda kepentingan satu-sama lain.

Pertama, media massa kapitalis selalu berusaha menyajikan berita yang layak dijual. Supaya bisa begitu, maka berita yang diangkat pun haruslah di luar kebiasaan, jarang terjadi, dan unik. Ini terlihat jelas dalam resep jurnalisme mereka: “anjing menggigit manusia bukan berita, tapi manusia menggigit anjing baru berita.”

Njoto, pimpinan redaksi Harian Ra’jat, pernah mengeritik gaya jurnalisme di atas sebagai selera jurnalisme borjuis. Menurutnya, jurnalisme borjuis menganggap penderitaan orang yang digigit anjing tidak punya nilai jual untuk diberitakan. Sebaliknya, manusia menggigit anjing sebagai peristiwa aneh, sensasional, dan menghibur justru punya nilai jual dan itulah yang mestinya diberitakan.

Konsekuensinya: media massa tidak tertarik memberitakan persoalan-persoalan yang dialami oleh rakyat.  Kalaupun diberitakan, itu hanya menempati pojok kecil dan ulasannya sangat singkat. Sebab, penindasan dan penghisapan rakyat itu sendiri dianggap sudah lazim terjadi.

Kedua, media massa lebih tertarik menyajikan berita yang sensasional dan bombastis, seperti skandal seks para pejabat/tokoh publik, gossip miring tentang para politisi, perselingkuhan dan perceraian di kalangn selebritis, dan lain-lain.
Sebagai contoh: media massa lebih tertarik memberitakan perceraian Anang-Krisdayanti ketimbang PHK massal terhadap buruh di sebuah pabrik. Kesannya: perceraian Anang-Krisdayanti lebih penting diketahui publik ketimbang penderitaan kaum buruh. Akibatnya, kita mulai kurang sensitif dengan persolan penghisapan yang dialami oleh masyarakat sekitar kita.

Ketiga, media massa saat ini suka sekali mengalihkan perhatian kita pada persoalan remeh-temeh, tapi justru mengabaikan atau mengaburkan persoalan besar.

Kita juga bisa mengambil kasus suap impor daging sebagai contoh. Media massa lebih tertarik menelusuri hubungan Ahmad Fathanah dengan sejumlah perempuan ketimbang menelesuri hubungan antara praktek suap, mahalnya harga daging, dan kegagalan negara menyediakan daging dengan harga terjangkau bagi rakyatnya.

Keempat, media massa seringkali melaporkan kejadian secara bias atau memanipulasi fakta. Sebagai misal, ketika mengangkat soal konflik agraria, media sering mencap rakyat sebagai penghuni ilegal, perambah, penyerobot, bahkan mafia tanah.

Padahal, dalam banyak kasus konflik agraria, rakyat adalah pemilik sah tanah tersebut. Sedangkan lawannya adalah pengusaha. Lantaran si pengusaha punya kekuatan modal, yang digunakan untuk menyuap pejabat politik, BPN, dan pengadilan, maka dia yang memenangkan klaim kepemilikan.

Pembiasan ini makin sering terjadi lantaran: Satu, kepemilikan media makin terkonsentrasi di tangan segelintir kapitalis. Sehingga posisi media tidak lebih sebagai pembela kepentingan ideologis, politis, dan ekonomis si kapitalis. Dua, dalam menggali informasi, media massa sangat bergantung pada narasumber seperti pejabat pemerintah, pemilik bisnis, dan kelompok pakar.

Akibatnya, ketika rakyat atau kaum tani dirampas tanahnya, kemudian oleh media dicap penyerobot lahan perusahaan, kita kemudian enggan peduli atau bersolidaritas kepada mereka.

Kelima, media massa mempromosikan gaya hidup individualistik, yang cuek dengan keadaan sekitar, sebagai gaya hidup yang unggul dan patut diteladani. Ini dipromosikan lewat iklan, film, sinetron, cerita pendek di koran, dan lain sebagainya.

Bahkan, demi merealiasikan atau memvisualkan keunggulan gaya hidup “keakuan” itu, tak masalah menindas kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Anda bisa melihat contohnya dalam iklan rokok Country yang berjudul Country The Flavor Of Adventure. Di situ diperlihatkan sepasang muda-muda yang kehilangan kendali atas mobilnya, yang kemudian meluluh-lantakkan pemukiman kumuh, dianggap telah menciptakan petualangan yang langka dan spektakuler.

Keenam, perkembangan televisi membawa dampak luar biasa. Banyak yang ditayangkan oleh televisi, seperti sinetron dan reality show, ditanggapi oleh pemirsanya sebagai sesuatu yang seolah-olah nyata atau benar-benar terjadi. Banyak tayangan sinetron, yang dikemas memang untuk menguras air mata, benar-benar membawa pemirsanya dalam kesedihan dan mengeluarkan air mata.

Sinetron dan reality show membawa dampak yang disebut “kekebalan sensivitas”. Maksudnya, masyarakat makin terbiasa dan kebal dengan hal-hal yang seharusnya menyedihkan atau rasa kemanusiaan. Ini sama dengan fenomena pengemis. Karena masyarakat, misalnya di pengguna KRL ekonomi Bogor-Jakarta, sudah terbiasa melihat dan mendengar keluhan pengemis, maka pengemis menggunakan cara yang lebih menyentuh lagi: membawa anak kecil atau memperlihatkn luka diperban. Lama kelamaan ini juga dianggap hal biasa.

Ketujuh, media massa mengkomoditifikasi kebudayaan. Apa yang disebut budaya rakyat, seperti kesenian tradisional, yang biasanya melibatkan banyak orang, telah digantikan dengan budaya populer atau budaya media yang lebih individualistik atau eksklusif.

Dahulu misalnya, anak-anak bermain-main di luar rumah. Sekarang, televisi dan games menarik anak-anak ke dalam rumah. Akibatnya, interaksi sosial mereka paling-paling di sekolah. Itupun waktunya dan kesempatannya terbatas akibat sistem pembelajaran yang bergaya penjara.


Sumber Artikel: 
http://www.berdikarionline.com/opini/20130523/bagaimana-media-membunuh-kepekaan-sosial-kita.html#ixzz2UCymbFEq

Melacak Makna Demokrasi

Written By Muhamad Hardin on Selasa, 15 Januari 2013 | Selasa, Januari 15, 2013


oleh :
Prastowo Justinus





Who control the past control the future,
Who control the present, control the past.
( George Orwell )


DARI pelajaran sejarah kita menjadi maklum, betapa masa lalu selalu menarik dan penting diperebutkan. Sungai waktu menjadi saksi, sejarah adalah kisah tentang pemenang, dan jelaslah bahwa kebenaran sejarah tak ubahnya sebuah rekonstruksi kebenaran oleh penguasa, demi memeroleh pijakan bagi masa kininya. Memungut puing masa lalu kemudian menyusun bangunan kisah yang lain pastilah mengandung bahaya, menjadi subversif, persis karena masa depan begitu sulit digenggam oleh status quo.
Satu kisah malang juga menimpa demokrasi. Mungkin ia kini menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan sebagai mantra sekaligus penanda, bahwa saya adalah bagian dari dunia kebanyakan. Tetapi, olehnya pula, demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal. Demokrasi lalu kawin-mawin dengan beragam ideologi dan pemikiran, dan di negeri ini belumlah sahih ucapan seseorang jika belum menyeru dirinya seorang ‘demokrat,’ atau belum fasih bertutur tentang demokrasi.

Baiklah, mari kita uji ikhwal demokrasi itu sendiri, dengan belajar dari masa lalu. Dengan resiko, kita buru-buru dituduh usang dan kuno, terlalu romantisis, bahkan sentimentil. Namun mari dicoba, barangkali itu juga cermin ketakutan dari hilangnya kuasa atas masa kini, persis ketika kita memeroleh sesuatu yang berbeda dari hasil berguru ke masa lalu.

Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957).  Berguru ke masa lalu tak serta merta mengikat dan menjadi keharusan bila makna hakiki ditemukan di masa kini. Ia menjadi normatif saat apa yang ada sekarang dirasakan tidak memadai. Yang jelas, reduksi demokrasi pada sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos = sendiri), oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga model ini saja kita dapat mulai bertanya, pertama mengapa yang disebut terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.

Jelas bahwa demokrasi tidak tepat untuk disodori pertanyaan berapa banyak yang berkuasa? Istilah Yunani yang merujuk istilah “yang banyak” adalah hoi polloi dan sejauh kita melacak ke literatur klasik, tak ditemukan istilah pollokratia, dan jika pun istilah poliarchia ada, itu tak lebih dari olok-olok kemudian terhadap demokrasi oleh pendukung oligarkhi. Kedua, mengapa yang disebut terakhir memiliki unsur bentukan yang berbeda? Jika monarchia dan oligarchia memiliki sufiks (berakhiran) –arche, demokrasi berakhiran –kratos. Di sini kita dapat mengajukan simpulan sementara bahwa kratos memiliki arti atau makna yang berbeda dengan arche. Untuk membantu kita mendedah beda yang terperam, baiklah kita menengok ke Max Weber.

Perspektif Weberian dapat memandu kita menilik makna kratos ini, ketika Weber membedakan Herrschaft (basis legitimasi ) dan Macht (kekuasaan belaka ) atas dasar legitimasi. Istilah arche dan kratos dapat diteropong dari sudut legitimasi ini. Arche memiliki makna “asal usul”, “imperium atau lembaga kekuasaan yang hegemonik”, atau “magistrasi”. Intinya arche menunjuk pada lembaga kekuasaan (office), baik oleh satu orang (monos) dalam monarchia atau oleh beberapa orang (oligos), dalam oligarkhia. Sebaliknya, kratos tidak pernah terkait dengan office (lembaga), melainkan pada power (kekuasaan).

Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan demikian kratos - dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum. Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dimungkiri, namun prinsip utamanya adalah demos terpilin atas tubuh individual yang secara sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Bahkan mengenai siapa yang memeroleh giliran memimpin, kita bisa lakukan undian atau lotere.

Belajar dari masa lalu, kita bertanya, sejak kapan istilah demokrasi dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan melalui voting”? Tampaknya itu dimulai ketika terbit pamphlet oleh pendukung rejim oligarkhia di abad ke-5, yang mengolok-olok demokrasi sebagai kemerosotan akibat pemerintahan oleh “mereka yang banyak”, yakni si miskin. Kini kita dihadapkan pada dua soal itu, pengagungan voting sebagai satu-satunya mekanisme pengambilan keputusan dan mendaku suara terbanyak sebagai representasi kedaulatan rakyat. Dari tilikan praktik zaman antik, keduanya memang bagian dari sejarah, namun bukanlah contoh baik bagi sebuah virtue (keutamaan). Barangkali terlalu mewah berbicara tentang kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas. Kita hidup dalam mentalitas pasar, di mana aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu yang sadar akan hak dan kapasitasnya.

Membandingkan kekayaan pemikiran dan praktik masa lalu dengan praktik dan pemikiran masa kini, kita pantas malu tatkala di abad ke-5, polemik anti-demokrasi mengemuka dan persis mewartakan apa yang kurang lebih kita saksikan akhir-akhir ini, bahwa hampir semua politisi memahami demokrasi sebagai kekuasaan oleh mayoritas, dan karenanya mereka pun berlomba menjadi pemenang, padahal kesadaran dan keikhlasan menjadi pecundang yang fair juga bagian dari kualitas unggul. Yang di zaman lalu bahkan dihargai dengan cara lotere, kini diutamakan, dan sebaliknya yang di masa lalu dianggap penting yakni kesetaraan, penghargaan akan perbedaan, dan penempatan bonum commune sebagai telos kini sama sekali tak disinggung sebagai keutamaan etis. Menghargai kapabilitas dan kesetaraan individu berarti menyodorkan konsep, program, mengajak diskusi dan berdebat secara sehat, tak sekedar memajang gambar molek, slogan narsis, dan janji utopis.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penentuan anggota legislatif dengan suara terbanyak tampaknya bagian dari kesalahpahaman terhadap konsep inti demokrasi, di mana kedaulatan dikuantifikasi dan demokrasi dipahami sebagai praktik kekuasaan atau penguasaan lembaga kekuasaan. Sebaliknya kecurigaan pada oligarki oleh partai politik juga beralasan ditilik dari elitisme dan jauhnya aktivisme partai politik tentang pendidikan politik dan konsistensi pada fatsoen politik yang baik. Dan akhir-akhir ini diimbuhi taburan hasil jajak pendapat, bahkan iklan yang menamai diri dengan ‘demokrasi’ namun sama sekali tak melakukan pendidikan publik, bahkan sekedar menggiring opini publik secara dangkal.

Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali. Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas. Tanpa pendidikan politik, pada akhirnya pertunjukkan politik negeri ini terasa sedemikian hambar dan menyesatkan. Hanya bertarung melalui citra dan polesan iklan, saling mendaku keberhasilan tapi emoh mengakui kegagalan dengan rendah hati. Di mana-mana hantu bergentayangan siap menyandera daulat rakyat kembali menjadi daulat tuanku. Dan agaknya pepatah kuno tetaplah nyaring bergema ‘tak ada sesuatu yang baru di muka bumi’.***

Justinus Prastowo, Aktif di Komunitas Filsafat AGORA, Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara – Jakarta.

Kampung Halaman

More Posts »
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger