Dari sudut pandang negara, demokrasi
mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan
yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dalam
rangka untuk pemberdayaan masyarakat itu sendiri, karena partisipasi akan
memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak
mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran warga
serta membangun kemandirian masyarakat.
Sementara cita-cita mewujudkan
partisipasi masyarakat adalah sebuah proses pembelajaran warga yang menuntut
kesadaran sekaligus kesa-baran banyak pihak. Banyak pengalaman menunjukan,
tidak gampang menuntut keterlibatan orang banyak, apalagi menyangkut seluruh
warga tanpa benar-benar dilandasi oleh kesadaran yang tinggi untuk mewujudkan
tujuan bersama.
Dalam konteks diatas sejumlah
diskusi yang melibatkan masyarakat desa yang di fasilitasi oleh Forum
Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak tahun 2001, mencoba untuk
mengembangkan serta menyebarkan wacana perlunya mencari dan menumbuhkan pola
pengembangan partisipasi dan demokrasi di tingkat masyarakat desa dengan salah
satunya menyusun modul pelatihan APBDes partisipatif yang selanjutnya
bekerjasama dengan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dengan harapan
akan terwujudnya tata pemerintahan yang baik di tingkat desa.
Hal ini dikarenakan pertama, bahwa
masih ada sejumlah kekurangan yang nampak dalam pengelolaan anggaran desa.
APBDes belum mencerminkan perencanaan strategis desa. Bahkan ketika desa belum
memiliki perencanaan strategis, penyusunan anggaran diibaratkan didasarkan pada
adat kebiasaan semata yang tidak sejalan dengan visi, misi dan program desa.
Padahal seharusnya APBDes seharusnya mengikuti visi, misi dan program desa yang
dirancang secara partisipatif.
Kedua, APBDes belum menjadi indikator
kemampuan ekonomi desa dalam berotonomi. Banyak kasus mengungkapkan bahwa
sumber-sumber pendapatan ABDes belum digali dengan baik, dan kebiasaan yang
dilakukan adalah menggali sumberdana dari kebaikan pemerintah kabupaten dan
dari luar. Jika menggantungkan dari dalam, pihak desa mengandalkan pada dana
swadaya dan gotong royong yang membawa implikasi pada ketidakadilan sosial dan
beban yang besar bagi warga desa yang tidak mampu.
Ketiga, bahwa pemerintah desa masih
bersikap romantis dengan paradigma lama di dalam mengelola keuangan desa. Di
sini pemerintah desa mengesampingkan suara warga dan bahkan BPD. Seolah-olah
mencari dan mengalokasikan anggaran adalah hak dan bakatnya. Akibatnya, ABDes
tidak disusun secara partisipatif dan alokasi anggaran juga bias kepentingan
pemerintah daripada kepentingan masyarakat. Akibatnya juga ketika daya
partisipasi masyarakatnya rendah, maka penyusunan sampai pelakasanaan APBDes
tidak terkontrol dan membuka peluang terjadinya korupsi.
Keempat, APBDes menghadapi persoalan
rendahnya sumber-sumber dan besarnya penerimaan sehingga APBDes bukan menjadi
alat yang penting untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat
pedesaan. Sumber pendapatan asli desa dari kekayaan desa sangat kecil dan
terutama berasal dari tanah yang dipakai untuk lungguh dan sarana umum seperti
kuburan, jalan dan tempat ibadah. Tanah kas desa untuk anggaran operasional
desa juga tidak memadai.
Kelima, buruknya APBDes berkaitan
dengan kurangnya payung hukum kuat yang mendorong terwudnya tata pemerintahan
yang baik. APBDes memperlukan peraturan desa (PERDES) yang mengatur tata
laksana penyusunan yang mengindahkan bukan hanya aspek teknokrasi tetapi juga
ligitimasi masyarakat, dan kesesuaian dengan visi, misi dan program pemerintah
desa jangka pendek dan panjang . Demikian pula diperlukan payung hukum yang
pasti dari peraturan daerah yang menjamin adanya perimbangan keuangan yang adil
dan mendorong pemerintahan desa dapat menjalankan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan secara mandiri. Masalah itu patut dikaji lebih tentang pentingnya
payung hukum yang tepat.
Dari beberapa persoalan diatas buku
panduan pelatihan APBDes partisipatif ini disusun untuk melatih antara lain
anggota BPD, aparat pemerintahan, tokoh masyarakat, pengurus lembaga-lembaga
yang ada didesa dengan harapan akan tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan
masyarakat dalam pemerintahan desa tentang pentingnya proses partisipatif dan
meningkatkan ketrampilan mereka dalam penyusunan APBDes.
Bahwa kebutuhan pelatihan di setiap desa
tidaklah sama sehingga memang modul ini tidak diniatkan untuk menyeragamkan
pelatihan di setiap desa, sehingga dalam menggunakan modul inipun tidak harus
digunakan secara runtut, topik demi topik dari tahap pertama hingga akhir
sehingga fasilitator bebas memilih dari topik dan tahap mana akan memulai
pelatihan. Selain itu dalam menggunakan modul ini haruslah memperhatikan
dinamika kebutuhan masyarakat desa setempat.
Tidak ada komentar: