Headlines News :
Home » » Siklus Undang-Undang Mengenai Desa

Siklus Undang-Undang Mengenai Desa

Written By Muhamad Hardin on Rabu, 16 Januari 2013 | Rabu, Januari 16, 2013


Siklus Undang-Undang Mengenai Desa

Sentralistik
-
Regimentasi
-
Desentralisasi
-
Sentralistik
(UU 5/1974)
(UU 5/1979)
(UU 22/1999)
(UU 32/2004)

Pasang surut perundang-undangan yang mengatur mengenai desa berjalan terus secara dinamis dan setiap undang-undang yang berlaku substansi muatan politisnya berbeda-beda. UU. N0. 5/1974 dan UU No. 5/1979 meneguhkan sentralisasi, otoritarianisme, regimentasi (penyeragaman), birokratisasi, depolitisasi dan korporatisasi. UU No 22/1999 memberi kontribusi yang luar biasa dan pengalaman berharga bagi pengembangan desentralisasi, demokratisasi, keragaman, partisipasi dan pemberdayaan. UU No 32/2004 ternyata tidak melakukan revisi atas UU No. 22/1999 dan UU lain sebelumnya dalam rangka memperkuat demokratisasi dan desentralisasi, justru mengganti secara total UU No. 22/1999.

Proses perumusan naskah UU No. 32/2004 secara nyata jauh dari kontrak sosial dan partisipasi. Konsultasi publik yang dibuka oleh Pansus DPR-RI sangat elitis, oligarkhis dan dengan proses yang sangat terbatas. Namun demikian proses tersebut sudah dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU tersebut sudah dikonsultasikan dengan publik. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR, seperti; LIPI, Koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Akademisi dll terus menerus menyampaikan usulan perbaikan secara langsung maupun melalui media. Pepatah mengatakan "biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu", siapapun orangnya, apapun lembaganya, bagaimana substansinya, dengan cara apapun, secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa dan diujung pekan masa kerja mereka habis.

Ditinjau dari sisi demokratisasi UU No. 22/1999 telah membuka ruang politik dan memotong sentralisme yang terjadi di masyarakat pada 3 (tiga) dekade belakangan ini. Sejak UU No. 22/1999 diberlakukan masyarakat desa mulai kritis, transparan dan ada keberanian untuk menyampaikan aspirasinya. Mbah Tarno (salah seorang sesepuh masyarakat Samin di kabupaten Pati Jateng) mengatakan; "jaman iki jaman tinarbuko", jaman keterbukaan. Oleh karenanya Sedulur Sikep (sebutan untuk orang Samin) mulai berpartisipasi dalam program-program pemerintah seperti: bidang pelestarian lingkungan, pengairan, pertanian dan forum-forum mulai dari skala RT sampai Nasional. Padahal sejak jaman penjajahan Belanda sampai era Orde Baru Sedulur Sikep dikenal oleh umum sangat tertutup, militan dan didiskreditkan sebagai komunitas yang sulit menerima perubahan. Di Ranah Minang semangat kembali ke Nagari bergelora dan menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Banyak sekali contoh kebangkitan komunitas yang disemangati oleh UU No. 22/1999. Memang terjadi juga hubungan konfliktual antara Kepala Desa dengan BPD, tetapi hanya sementara selama dua tahun pertama dan hal itu disebabkan oleh pemahaman masing-masing yang masih sangat terbatas. Tetapi mulai tahun ketiga dan berikutnya Kepala Desa dan BPD mulai membangun kemitraan dan hubungan saling percaya.

Semangat UU No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol dan mereduksi demokratisasi pemerintah desa. Semangat sentralistik-korporatis ini mengingatkan kita pada situasi desa berdasarkan UU No. 5/1979. Para penyusun UU No. 32/2004 tampaknya tidak begitu serius memperhatikan desa atau memandang desa dengan sebelah mata. Pola pengaturan yang diskriminatif seperti ini membawa konskuensi keberadaan desa yang kurang terhormat dan desa sekedar menjadi bagian (subsistem) dari pemerintahan daerah. UU No. 32/2004 memberikan "cek kosong" kepada kabupaten/kota untuk melakukan pengaturan terhadap desa. Eksistensi desa tidak ditempatkan sebagai entitas yang otonom dan harus dihormati melainkan berada di wilayah yurisdiksi atau merupakan substansi pemerintah kabupaten. Pada hal secara historis desa adalah komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri (self-governing community), berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam kontek demikian seharusnya desa diatur dalam ketentuan undang-undang tersendiri sebagai satuan pemerintah otonom yang hidup dan berkembang berdasarkan asal-usulnya jauh sebelum republik ini lahir. Namun untuk mencegah sejarah buruk pengaturan desa melalui undang-undang tersendiri yang akhirnya menimbulkan penyeragaman desa sebagaimana UU No. 5/1979 maka materi muatan undang-undang desa harus bersifat umum yang menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada daerah melalui Perda.

Agenda ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat posisi, eksistensi dan kemandirian desa meliputi, pertama; merevitalisasi kewenangan asal-usul untuk desa adat dan kedua; distribusi kewenangan kepada desa. Revitalisasi kewenangan asal-usul selalu diperjuangkan oleh pemimpin lokal, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara maupun NGOs. Revitalisasi ini mau tidak mau harus menengok kembali sejarah masa lalu. Nostalgia masa lalu memang selalu menimbulkan pertantangan, tetapi jika pertentangan ini tidak diputus maka selalu saja akan menanam konflik berkelanjutan di masa depan. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan terutama tanah yang selama ini paling krusial. Penyatuan antara desa negara dengan desa adat menjadi sangat penting yang kemudian ditetapkan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal. Jika problem ini sudah clear dengan format "desa baru" maka langkah berikutnya adalah membuat perencanaan skenario masa depan yang berorientasi pada pembaharuan desa.

Sedangkan kontribusi kewenangan pada desa tentu mengikuti skema desentralisasi. Semua kewenangan yang sudah diatur dalam PP 76/2001 merupakan penyerahan/pembagian kewenangan dari pemerintah supradesa kepada desa (desentralisasi). Jika mengikuti prinsip desentralisasi maka kewenangan dalam bidang tugas pemerintahan tersebut bisa dibagi secara proporsional antara pusat, propinsi, kabupaten/kota dan desa. Akankah desa yang sudah "tinarbuko" ini kembali ke jaman "kegelapan" dengan diterapkan UU No. 32/2004?

(warno)
Share this article :

Tidak ada komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger