Siklus Undang-Undang Mengenai Desa
Sentralistik
|
-
|
Regimentasi
|
-
|
Desentralisasi
|
-
|
Sentralistik
|
(UU 5/1974)
|
(UU 5/1979)
|
(UU 22/1999)
|
(UU 32/2004)
|
Pasang surut perundang-undangan yang mengatur mengenai desa berjalan terus secara dinamis dan setiap undang-undang yang berlaku substansi muatan politisnya berbeda-beda. UU. N0. 5/1974 dan UU No. 5/1979 meneguhkan sentralisasi, otoritarianisme, regimentasi (penyeragaman), birokratisasi, depolitisasi dan korporatisasi. UU No 22/1999 memberi kontribusi yang luar biasa dan pengalaman berharga bagi pengembangan desentralisasi, demokratisasi, keragaman, partisipasi dan pemberdayaan. UU No 32/2004 ternyata tidak melakukan revisi atas UU No. 22/1999 dan UU lain sebelumnya dalam rangka memperkuat demokratisasi dan desentralisasi, justru mengganti secara total UU No. 22/1999.
Proses
perumusan naskah UU No. 32/2004 secara nyata jauh dari kontrak sosial dan
partisipasi. Konsultasi publik yang dibuka oleh Pansus DPR-RI sangat elitis,
oligarkhis dan dengan proses yang sangat terbatas. Namun demikian proses
tersebut sudah dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU tersebut sudah
dikonsultasikan dengan publik. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR,
seperti; LIPI, Koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa,
FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Akademisi dll terus menerus
menyampaikan usulan perbaikan secara langsung maupun melalui media. Pepatah
mengatakan "biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu",
siapapun orangnya, apapun lembaganya, bagaimana substansinya, dengan cara
apapun, secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat
strategis yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat,
tergesa-gesa dan diujung pekan masa kerja mereka habis.
Ditinjau
dari sisi demokratisasi UU No. 22/1999 telah membuka ruang politik dan memotong
sentralisme yang terjadi di masyarakat pada 3 (tiga) dekade belakangan ini.
Sejak UU No. 22/1999 diberlakukan masyarakat desa mulai kritis, transparan dan
ada keberanian untuk menyampaikan aspirasinya. Mbah Tarno (salah seorang
sesepuh masyarakat Samin di kabupaten Pati Jateng) mengatakan; "jaman iki
jaman tinarbuko", jaman keterbukaan. Oleh karenanya Sedulur Sikep (sebutan
untuk orang Samin) mulai berpartisipasi dalam program-program pemerintah
seperti: bidang pelestarian lingkungan, pengairan, pertanian dan forum-forum
mulai dari skala RT sampai Nasional. Padahal sejak jaman penjajahan Belanda
sampai era Orde Baru Sedulur Sikep dikenal oleh umum sangat tertutup, militan
dan didiskreditkan sebagai komunitas yang sulit menerima perubahan. Di Ranah
Minang semangat kembali ke Nagari bergelora dan menjadi garda terdepan dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Banyak sekali contoh kebangkitan komunitas yang
disemangati oleh UU No. 22/1999. Memang terjadi juga hubungan konfliktual
antara Kepala Desa dengan BPD, tetapi hanya sementara selama dua tahun pertama
dan hal itu disebabkan oleh pemahaman masing-masing yang masih sangat terbatas.
Tetapi mulai tahun ketiga dan berikutnya Kepala Desa dan BPD mulai membangun
kemitraan dan hubungan saling percaya.
Semangat
UU No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol dan mereduksi demokratisasi
pemerintah desa. Semangat sentralistik-korporatis ini mengingatkan kita pada
situasi desa berdasarkan UU No. 5/1979. Para penyusun UU No. 32/2004 tampaknya
tidak begitu serius memperhatikan desa atau memandang desa dengan sebelah mata.
Pola pengaturan yang diskriminatif seperti ini membawa konskuensi keberadaan
desa yang kurang terhormat dan desa sekedar menjadi bagian (subsistem) dari
pemerintahan daerah. UU No. 32/2004 memberikan "cek kosong" kepada
kabupaten/kota untuk melakukan pengaturan terhadap desa. Eksistensi desa tidak
ditempatkan sebagai entitas yang otonom dan harus dihormati melainkan berada di
wilayah yurisdiksi atau merupakan substansi pemerintah kabupaten. Pada hal
secara historis desa adalah komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri
(self-governing community), berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Dalam
kontek demikian seharusnya desa diatur dalam ketentuan undang-undang tersendiri
sebagai satuan pemerintah otonom yang hidup dan berkembang berdasarkan
asal-usulnya jauh sebelum republik ini lahir. Namun untuk mencegah sejarah
buruk pengaturan desa melalui undang-undang tersendiri yang akhirnya
menimbulkan penyeragaman desa sebagaimana UU No. 5/1979 maka materi muatan
undang-undang desa harus bersifat umum yang menyerahkan pengaturan lebih lanjut
kepada daerah melalui Perda.
Agenda
ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat posisi, eksistensi dan
kemandirian desa meliputi, pertama; merevitalisasi kewenangan asal-usul untuk
desa adat dan kedua; distribusi kewenangan kepada desa. Revitalisasi
kewenangan asal-usul selalu diperjuangkan oleh pemimpin lokal, Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara maupun NGOs. Revitalisasi ini mau tidak mau harus
menengok kembali sejarah masa lalu. Nostalgia masa lalu memang selalu
menimbulkan pertantangan, tetapi jika pertentangan ini tidak diputus maka
selalu saja akan menanam konflik berkelanjutan di masa depan. Salah satu yang
krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan terutama tanah yang selama
ini paling krusial. Penyatuan antara desa negara dengan desa adat menjadi
sangat penting yang kemudian ditetapkan batas-batas wilayah dan kewenangan
lokal. Jika problem ini sudah clear dengan format "desa baru" maka
langkah berikutnya adalah membuat perencanaan skenario masa depan yang
berorientasi pada pembaharuan desa.
Sedangkan
kontribusi kewenangan pada desa tentu mengikuti skema desentralisasi. Semua
kewenangan yang sudah diatur dalam PP 76/2001 merupakan penyerahan/pembagian
kewenangan dari pemerintah supradesa kepada desa (desentralisasi). Jika
mengikuti prinsip desentralisasi maka kewenangan dalam bidang tugas
pemerintahan tersebut bisa dibagi secara proporsional antara pusat, propinsi,
kabupaten/kota dan desa. Akankah desa yang sudah "tinarbuko" ini
kembali ke jaman "kegelapan" dengan diterapkan UU No. 32/2004?
(warno)
(warno)
Tidak ada komentar: