Headlines News :
Home » » Ekonomi Kerakyatan dan Pembaharuan Desa

Ekonomi Kerakyatan dan Pembaharuan Desa

Written By Muhamad Hardin on Minggu, 02 Februari 2014 | Minggu, Februari 02, 2014


Orang Indonesia menjadi miskin bukan karena mempertahankan ekonomi tradisional (baca ekonomi kerakyatan) di tengah merebaknya ekonomi kapitalis asing yang digerakkan pemerintah jajahan Belanda melalui politik perkebunan. Apa yang terjadi adalah kapitalis yang melahirkan kemiskinan itu dengan mengembangkan perkebunan di tanah petani dengan harga sewa yang rendah dan upah yang murah. Akibatnya ekonomi kerakyatan yang mereka bangun adalah untuk menyambung hidup di tengah ekspansi kapitalis yang menggerogoti kekayaan mereka itu.

Ketika memasuki era Orde Baru, ekspansi kapitalis berlanjut dan bersifat sangat masif. Trilogi pembangunan menjadi doktrin yang membuka akses kapitalis asing untuk menanamkan modal di seluruh sektor ekonomi. Industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan, dan perkebunan pun berkembang dan pertumbuhan ekonomi bergerak naik. Akan tetapi itu semua mengorbankan penduduk desa menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dengan mencermati trend globalisasi, bahwa pasar bebas akan mempercepat proses akumulasi kapital masyarakat dan berpindah ke tangan kapitalis asing. Pandangannya tidak keliru ketika menyaksikan bahwa kapitalis global tidak hanya mengurangi peran negara dalam pengelolan ekonomi tetapi juga mengurangi peran masyarakatnya juga. Privatisasi BUMN yang mengelola pelayanan publik menjadi contoh nyata bahwa negara menjadi pelayan setia kapitalis global yang konon menjanjikan barang dan jasa murah tetapi secara nyata tetap dapat meraup untung karena dialah yang mengontrol bekerjanya sistem produksi. Bahkan kapitalis global itu juga mengontrol bekerjanya konsumsi dengan menciptakan masyarakat konsumen yang konsumtif sehingga roda ekonomi praktis dikendalikannya.

Menjelang akhir hayatnya, Prof Mubyarto memformulasikan kembali tentang ekonomi kerakyatan yang intinya sebagai berikut. Pertama: roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Kedua: munculnya kekuatan dari masyarakat untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial. Ketiga: terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Keempat: terbangunnya perilaku ekonomi yang mengemban demokrasi ekonomi yang berprinsip pada kepentingan rakyat, kekeluargaan, koperasi dan usaha kooperatif. dan Kelima: keseimbangan yang dinamis, efisien dan adil antar pusat dengan daerah melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi.

Gagasan Prof Mubyarto itu meletakkan negara sebagai pemain penting dalam pengelolaan ekonomi. Konstitusi harus secara tegas mengamanatkan Indonesia sebagai welfare state, karena itu pasal 33 UU 1945 harus dipertahankan. Desentralisasi dan otonomi juga harus diwujudkan agar terjadi proses redistribusi ekonomi, keadilan dan pemerataan. Ia juga mengamanatkan bahwa ekonomi kerakyatan merupakan gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat.

Empat tahun belakangan ini Prof Mubyarto juga menaruh perhatian terhadap program pembaharuan desa di era reformasi dan khususnya otonomi desa. Namun beliau belum memberikan sebuah rumusan tentang arah dari otonomi desa dalam kerangka penguatan ekonomi kerakyatan. Dalam benak saya, otonomi desa akan lebih bermakna bila justru mendorong terwujudnya gerakan ekonomi kerakyatan. Tanpa mengambil pilihan ini maka pembaharuan desa yang salah satu agendanya mempromosikan otonomi desa (OTDES) akan kehilangan maknanya. Ada beberapa alasan yang susah diabaikan. Pertama: Pemerintahan desa merupakan lembaga paling dekat dengan kehidupan sehari-hari orang desa yang kebanyakan menghadapi masalah keterpurukan ekonominya, sehingga seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi warganya. Kedua: sesuai aliran romantisme bahwa pemerintahan desa pada masa lalu justru menjadi institusi lokal yang bekerja untuk mengelola ekonomi dalam kerangka terwujudnya masyarakat sejahtera (welfare society). Tanah kas desa dan kekayaan lainnya, misalnya bukan hanya untuk mendanai anggaran desa, tetapi juga menjadi sumber penghasilan warganya. Ketiga: Desa dapat menjadi filter masuknya kapitalis yang dapat berdampak negatif bagi ekonomi desa. Keempat: desentralisasi di tingkat Desa tidak akan menjawab kemiskian dan kerapuhan ekonomi desa bila tidak dialokasikan sebesar-besarnya untuk program ekonomi.

Masalahnya klasik untuk mempromosikan pembaharuan desa yang mengembangkan ekonomi kerakyatan yang selalu muncul adalah dukungan regulasi. Bahkan UU 32/2004 sepertinya tidak memberikan otonomi yang luas kepada Desa. Terlepas dari ada tidaknya regulasi, prakarsa mewujudkan ekonomi kerakyatan menjadi bagian yang terpenting dari pembaharuan desa. Apabila ekonomi kerakyatan tidak menjadi visi dan misinya, maka pemerintahan desa akan menjadi beban ekonomi bagi warganya. Perannya lebih menampilkan diri sebagai regulator yang mengatur segala macam perijinan dan mengkomersialkan perijinan itu untuk menjadi sumber pendapatan. Celakanya desa akan sangat responsif dengan berbagai bentuk investasi dari luar ke wilayahnya karena kelimpahan rezeki sebagai broker dalam memfasilitasi proses pengembangannya dari mencarikan tanah sampai dengan dukungan komunitas. Desa juga akan memerankan diri sebagai kumpulan dari para elite yang memperkukuh previllage dan status sosialnya dihadapan massa orang desa.

Meletakkan ekonomi kerakyatan sebagai pekerjaan Desa berarti berbagi peran dengan pemerintah pusat dan daerah, sehingga tidak akan tumpang tindih. Menggerakkan ekonomi kerakyatan seperti mendorong penguatan modal sosial untuk menumbuhkan dana dan jaminan sosial, arisan, kredit mikro, fasilitas peralatan produksi pertanian, koperasi, pasar desa dan berbagai inisiatif yang membuat masyarakat mempunyai akses berusaha dan bekerja, merupakan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Oleh karena itu pemerintahan desa perlu melakukan keberanian untuk melakukan rasionalisasi atas visi, misi, kebijakan dan programnya. Selama ini saya melihat bahwa visi dan misi Desa terlalu luas, apalagi program tahunan yang dicanangkan. Sementara itu, dana yang dimiliki sangat terbatas, dan ADD sebagai sumber keuangan desa pun belum memadai. Bahkan banyak desa yang belum mendapatkannya sehingga menggantungkan sumber pendapatan dari perijinan. Pengamatan sementara mencatat bahwa dengan APBDes yang amat kecil sekitar Rp. 25 - 100 juta, tetapi dengan penduduk sekitar 5.000 jiwa saja terbagi ke dalam lima dusun atau kampung, maka jika programnya banyak, pos untuk pemberdayaan ekonomi kalau diadakan jumlahnya pasti kecil. Anggaran akan banyak dihabiskan untuk gaji dan kegiatan rutin baru kemudian untuk pembangunan fisik. Adalah ironis bahwa OTDES selama ini begitu gandrung dengan kepentingan membangun otonomi daripada desentralisasi dan bahkan kekuatan ekonomi bagi kepentingan warganya. Adalah lucu jika otonomi sudah diraihnya, tetapi tidak muncul inisiatif untuk menjawab masa depan penduduk desa yang semakin suram ditelan globalisasi.

Barangkali rasionalisasi yang dilakukan adalah mengurangi peran mengelola pelayanan publik. Desa juga tidak perlu banyak mengurusi masalah kemasyarakatan, tradisi dan kegiatan keagamaan karena masalah ini dapat diserahkan kepada masyarakat sendiri. Desa berkonsentrasi pada pengembangan sumber nafkah hidup warganya. Ia berperan sebagai agen informasi pekerjaan, dan menyediakan budget tahunan untuk mendorong penguatan modal sosial, ketrampilan, managemen dan kegiatan ekonomi masyarakatnya. Lewat peran itulah desa dapat menarik dana dari masyarakat dan menjalankan peran sebagai redistributor atas kekayaan desa untuk memajukan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Dengan peran seperti itu, prestasi desa terletak pada kemampuan mengelola anggaran dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan prakarsa lokal dalam mengembangkan kemandirian ekonomi. Apabila gagasan itu terwujud maka konsep ekonomi kerakyatan pun membumi, masyarakat dengan pemerintahannya bergayung membangun kemandirian ekonomi.

Bila pembaharuan desa mengambil pilihan utama pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan itu, maka konsekuensi pemerintahan desa pun harus dirombak. Ia bukan lagi tampil sebagai regulator dan berfungsi mempertahankan elitisme tetapi menjadi lebih banyak berperan sebagai fasilitator masyarakatnya. Pemerintahan desa bukan lagi menjadi kepanjangan tangan negara dan para penguasa di aras lokal, tetapi institusi ekonomi masyarakatnya.
Share this article :

Tidak ada komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger