Headlines News :
Home » » Potret Desa di Tengah Perubahan

Potret Desa di Tengah Perubahan

Written By Muhamad Hardin on Minggu, 02 Februari 2014 | Minggu, Februari 02, 2014

Tulisan pendek ini merupakan sebuah pandangan politik terhadap dinamika desa di tengah-tengah arus reformasi, desentralisasi dan demokrasi. Ada tiga pertanyaan yang hendak saya jawab. Pertama, apa bentuk-bentuk perubahan pemerintahan desa (village governance), baik dalam konteks internal maupun relasi eksternal, setelah reformasi membahana di Indonesia? Kedua, apa problem yang masih tersisa di desa, dan apa problem baru yang muncul di tengah arus desentralisasi dan demokrasi? Ketiga, apa tantangan desa ke depan, dan bagaimana agenda strategis membangun kembali desa dalam konteks desentralisasi dan demokrasi?

Perubahan
1. Perubahan pertama adalah eforia masyarakat desa yang membahana sebagai imbas dari gelombang protes untuk reformasi di level nasional pada tahun 1998. Segera setelah runtuhnya Orde Baru, gelombang protes sosial masyarakat desa membahana di Jawa, sebagai bentuk aksi kolektif untuk reformasi (baca: menggulingkan) pamong desa yang bermasalah (KKN). Peristiwa ini relatif baru sebagai pertanda delegitimasi kekuasaan, runtuhnya mitos pamong desa, dan bangkitnya semangat kontrol masyarakat desa terhadap pemerintahan desa.

2.    Perubahan kedua terjadi setelah penerapan UU No. 22/1999. Secara normatif desa tidak lagi dipandang sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak asal-usul desa. UU No. 22/1999 memastikan pengurangan peran camat terhadap desa, dan desa berada di bawah kontrol langsung kabupaten. Implikasinya adalah, desa berhak membuat regulasi desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan desa, sejauh belum diatur oleh kabupaten.

3.    Di desa terjadi perubahan nomenklatur, baik yang hanya bersifat kosmetikal sampai perubahan identitas. Di Jawa, misalnya, sebutan kepala desa secara kosmetikal digantikan dengan sebutan asal seperti lurah, petinggi, kuwu, dan lain-lain. Sekretaris desa juga berubah menjadi carik. Sementara penemuan kembali identitas lama terjadi di Luar Jawa. Sumatera Barat adalah contoh yang paling menonjol dalam menemukan kembali identitas setelah provinsi pelari terdepan desentralisasi ini melancarkan gerakan “kembali ke nagari”. “Kembali ke nagari”, bagi orang Minangkabau, identik dengan menemukan kembali “permata” yang telah lama hilang. Secara empirik kembali ke nagari telah memberi suntikan darah segar bagi Minangkabau, mulai dari penemuan kembali identitas sampai kebangkitan partisipasi masyarakat terhadap nagari. Jika orang Jawa masih minder (inferior) mengatakan “orang desa”, sementara orang Minangkabau begitu bangga menyebut dirinya “anak nagari”.

4.    UU No. 22/1999 telah memperkenalkan Badan Perwakilan Desa (BPD), sebuah institusi baru demokrasi yang menggantikan lembaga korporatis LMD. Di satu sisi kehadiran BPD dimaksudkan untuk menerapkan subsidiarity desa dalam membuat peraturan desa, dan di sisi lain BPD merupakan ruang bagi artikulasi politik, partisipasi masyarakat dan kontrol terhadap pemerintah desa. Secara empirik, ruang demokrasi yang terus terbuka dan kehadiran BPD telah membuat desa semakin semarak dan memaksa kepala desa membagi kekuasaan kepada parlemen desa itu. Kekuasaan kepala desa yang absolut dan sentralistik secara pelan-pelan digerogoti oleh demokratisasi, yang membuatnya lebih “hati-hati” dan bertanggungjawab dalam mengelola kekuasaan dan kekayaan desa.

5. Pemerintah telah berupaya melakukan perubahan kosmetikal terhadap lembaga-lembaga korporatis seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dengan sebutan lain seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). Secara organisatoris kepala desa tidak lagi menjadi ketua umum LPMD seperti dulu. LPMD ditempatkan menjadi organ nonformal di luar struktur resmi pemerintahan desa, yang mempunyai tugas sebagai partner pemerintah desa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa. Pembentukan LPMD umumnya diusulkan oleh kades berdasarkan pertimbangan dan persetujuan BPD. Tetapi dalam praktiknya, kades masih mempunyai pengaruh besar terhadap kerja-kerja LPMD, meski di atas kertas LPMD dirancang otonom.

6. Di desa sekarang tumbuh organisasi-organisasi alternatif, misalnya dalam bentuk forum warga, kelompok swadaya masyarakat sampai organisasi rakyat, baik yang didorong oleh pihak luar maupun yang tumbuh sendiri (self-generating) dari masyarakat. Ada organisasi yang berfungsi untuk memperkuat self-helf dan solidaritas sosial, ada pula organisasi yang digunakan untuk forum komunikasi antar pemangku kepentingan di desa, dan ada juga yang digunakan untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan desa.

7. Para kepala desa sekarang mulai membentuk asosiasi kepala desa di level kabupaten, sementara BPD membentuk forum BPD. Jaringan ini digunakan untuk memperjuangkan aspirasi (jabatan dan insentif) mereka, mempengaruhi kebijakan kabupaten dan memperjuangkan otonomi desa. Cuma, sayangnya, antara asosiasi kepala desa dan forum BPD masih berjalan sendiri-sendiri dalam memperjuangkan otonomi desa.

Problem Lama dan Baru
1. Banyak sekali desa-desa di Jawa yang sejak dulu selalu menghadirkan kekerasan dan permainan politik uang ketika menggelar Pilkades. Permainan politik uang di desa, sebagaimana di kabupaten dan provinsi, menjadi isu yang sangat keras dan cepat, tetapi juga sangat cepat menguap dan dilupakan banyak orang. Praktik-praktik kekerasan cepat sekali berkobar dan juga cepat sekali dirampungkan oleh aparat keamanan setelah menelan korban tidak sedikit. Tetapi sejak dulu di desa tidak ada sebuah mekanisme dan proses politik yang dibangun dari prakarsa lokal untuk mencegah praktik-praktik kekerasan.

2. Proses perencanaan pembangunan desa masih berlangsung seperti dulu. Di atas kertas perencanaan berlangsung dari bawah (bottom up) yang kemudian dibawa naik ke kabupaten, tetapi praktiknya selalu terjadi manipulasi sehingga aspirasi dari bawah tidak menjadi preferensi bagi pembuatan keputusan di level kabupaten. Di tingkat desa sendiri, perencanaan pembangunan juga didominasi oleh elite desa atau lebih berpijak pada preferensi elite ketimbang aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

3. Gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial (social capital), bukan modal finansial (financial capital) sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk swadaya masyarakat desa. Banyak proyek dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong-royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang luar biasa. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana fisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Sejak Orde Baru hingga sekarang, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.

4. Desentralisasi adalah sebuah kebijakan dari atas yang tidak sempurna baik dari sisi desain maupun praktiknya. Desentralisasi dan otonomi daerah lebih difokuskan pada kabupaten/kota, sehingga desa masih tetap dipandang sebelah mata dan belum memperoleh otonomi yang lebih leluasa. Desa masih berada di bawah cengkeraman kabupaten secara hirarkhis. Para pejabat kabupaten umumnya memandang bahwa otonomi berhenti di tangan kabupaten, serta menjadikan desa sebagai obyek kebijakan dan regulasi kabupaten. Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten tentang pemerintahan desa yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas

5. Desentralisasi politik yang terbatas juga diikuti dengan pembatasan desentralisasi fiskal ke desa. Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana pusat yang didaerahkan melalui Dana Alokasi Umum. Sebagian dana kabupaten memang didesakan tetapi tidak dibingkai melalui kerangka regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati dan DPRD.

6. Kepala desa (petinggi, lurah, kuwu, dll) kini mengalami disorientasi kekuasaan: dari atas ditekan dengan instruksi oleh kabupaten, dari samping digencet oleh BPD dan dari bawah dituntut oleh masyarakat. Di banyak tempat kehadiran BPD dianggap menjadi ancaman bagi kepala desa, dan sekaligus memunculkan ketegangan antara kepala desa dengan BPD. Di desa-desa yang telah dimasuki fasilitator dari luar (NGO atau perguruan tinggi), ketegangan itu bisa dicairkan antara lain dengan cara dialog yang intensif dan membuat code of conduct di antara kepala desa dan BPD. Tetapi desa-desa yang tidak dimasuki pihak ketiga masih sulit untuk mendamaikan ketegangan Kades-BPD karena belum mempunyai mekanisme dan proses manajemen konflik yang dibangun berdasarkan prakarsa lokal. Pembelakan yang diberikan kabupaten maupun kecamatan juga belum mampu mencairkan ketegangan itu.

7. Kapasitas dan kinerja perangkat desa masih berjalan apa adanya (taken for granted) sesuai dengan ketentuan administratif. Mereka umumnya cukup puas karena telah bisa memberikan pelayanan prima nonstop 24 jam. Saya baru menemukan beberapa kepala desa yang bekerja secara inovatif dan responsif dengan dituntun visi-misi besar.

Tantangan dan Agenda Kedepan
1.    Membuat hubungan kemitraan dan trust antara kades dan BPD, tanpa menghilangkan dimensi kontrol. Termasuk membuat kohesif antara asosiasi kepala desa dan forum BPD sehingga menjadi kekuatan besar untuk memperjuangkan otonomi desa. Pihak luar yang masuk ke desa tentu saja diharapkan memperhatikan dan menggarap isu hubungan antara kepala desa dan BPD itu.

2.    Mendesak pemerintah pusat dan kabupaten untuk memformulasikan kebijakan desentralisasi kewenangan dan keuangan kepada desa secara lebih jelas dan pasti. Di banyak tempat sudah muncul usulan agar desa diatur secara terpisah dari UU otonomi desa.

3.    Membuat desa sebagai wilayah pembangunan yang otonom, antara lain dengan cara membuat perencanaan pembangunan berhenti di desa.

4.    Mendorong dan memperkuat institusi lokal sebagai basis partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat terhadap proses pemerintahan dan pembangunan desa.

5.    Memperkuat dan memperluas jaringan elemen-elemen civil society (NGO, media massa, perguruan tinggi, dan lain-lain) untuk menyuarakan desa, menyebarluaskan wacana otonomi desa, mempengaruhi kebijakan pemerintah dan ikut memperjuangkan otonomi desa.
Share this article :

1 komentar:

Unknown mengatakan...

test.. test.. I hope this new wedget it can works

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. manarangko.blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger